Jumat, 09 Juli 2021

  Jangan tanya, Kenapa?

(Gambar hasil screenshot dari https://youtu.be/A1xb3NYkasI)

Bagi sebagian peselancar media sosial mungkin tidak asing dan merasa tergelitik atau bahkan terwakilkan dengan isi pesan yang disampaikan dalam video  iklan budaya basa basi saat kumpul keluarga asal negeri Thailand pada link gambar di atas. Dalam video tersebut, berbagai pertanyaan dilontarkan oleh sebagian besar kerabat terhadap seorang wanita single nan cantik. Beberapa pertanyaan tersebut bagi si wanita terasa “menyakitkan” sampai terbesit dan terlontar balasan berupa pertanyaan serta pernyataan jujur menyakitkan dari si wanita kepada beberapa keluarga. Dalam berbagai sudut pandang, menurut saya basa-basi tersebut secara tidak langsung cenderung sangat “ofensif” dan menyakitkan.

Bagaimana tidak, daftar pertanyaan yang kadang kita tidak siap (tidak bisa) menjawab seringkali berulang-ulang terlontar dari lidah yang tak bertulang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terlontar dari orang-orang sekitar kita seperti teman, kerabat, tetangga, atau orang yang baru saja kita kenal. Kapan kerja?, Kapan nikah?, Kapan punya anak?, Kenapa belum punya mobil/rumah? Kenapa ngontrak?, Kenapa bercerai, Kenapa……., dan banyak lagi pertanyaan yang terasa bosan dan sulit untuk dijadikan soal ujian berbasis kompetensi.

Boleh jadi, pertanyaan basa basi ala negeri timur jauh tersebut jika disematkan kepada orang barat dan eropa dengan budaya yang berbeda akan terasa sangat kasar dan tidak pantas dimasukan dalam list tunggu sebuah kuis.

Berikut narasi dialog yang sering dijumpai dalam budaya yang kadang tak “beretika dan berperasaan”. Mungkin maksudnya baik atau kalau boleh dibilang “care”, tapi kadang memuakkan.

A   : Kerja dimana?

B : Ohh, saya mengajar di ***

A   : Bini Orang mana?

B : Istri orang ***

Oke, itu pertanyaan yang terbilang wajar dan masih dalam koridor kesantunan umum. Namun jika hal lain sudah menjurus seperti pertanyaan-pertanyaan di bawah, layaknya perlu dipahami budaya saling menjaga perasaan dan nurani oleh sebagian besar orang dalam kesehariannya.

A   : Punya anak berapa?

B : Oh, belum.

A   : Lah emang udah berapa tahun menikah belum punya anak?

B : Sekitar 4-5 tahun.

A   : Laah lama banget.

B : Iya memang.

A   : Anak saya nikah satu tahun

sudah punya anak.

B : Mungkin belum waktunya dan

belum rejeki.

A   : Lah kalau orang nikah mah

harus punya anak. Nanti siapa

yang ngurusin kalau udah tua.

B : ***

A : Adek nya kapan nikah?

B : Nggak tahu, Mungkin belum

punya jodoh

A : Lah, cepetan cariin jodoh,

nanti jadi perawan tua.

B : ***

Pertanyaan-pertanyaan simple, tapi menyakitkan. Buat bapak/ibu dan sahabat LaLit, pertimbangkan dan pikirkanlah sebelum melontarkan jenis-jenis pertanyaan layaknya di atas. Kita tidak tahu dibalik kehidupan real orang yang ditanya. Entah dia (suami/istri/adik/kakak) sudah berusaha, memiliki “masalah” dengan kesehatan, atau bahkan Tuhan belum menganugerahkan yang lebih baik atau terbaik. Jangan lagi memberi pernyataan atau memberikan “nasihat” (banyak-banyaklah berdo’a, beramal, atau mengkonsumsi ini dan itu) karena kita tidak akan pernah  tahu APA YANG ADA DALAM DO’A TERBAIK NYA KETIKA DIA MEMINTA KEPADA TUHANNYA. Ingatlah, do’a baik pun memiliki konsekuensi di dalam nya. Berusahalah untuk bijak, setidaknya berikanlah doa pada nya, “SEMOGA ALLAH MEMBERIKAN YANG TERBAIK UNTUK DUNIA DAN AKHIRAT MU”.  Setidaknya itu bisa menjadi obat hati dan perasaan daripada pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya masih tendensius destruktif dan ofensif. 

Banyak orang tua berharap dan meminta anak dalam do’a nya, tapi faktanya tidak disertai dengan mendidik dan menafkahi. Banyak pula orang tua yang berharap dan meminta anak yang sholeh/sholehah, tapi hanya sebatas lisan karena tidak ada usaha mendidik secara didikan Rasulullah atau Luqman Al-Hakim. Nyatanya, tidak sedikit pula yang hanya sebatas menyekolahkan tanpa ada kerjasama simbiosis mutualisme antara ibu/ayah guna menghasilkan harapan nyata.

Begitu juga jenis pertanyaan lainnya, Kapan kerja?, Kapan nikah?, Kenapa ngontrak?, dan Kenapa bercerai?. Mulailah Stop untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut karena sejatinya kita tidak mengalami dan memahami konteks jati diri, keadaan, dan lingkungannya. Mungkin yang lebih membantu ketimbang pertanyaan-pertanyaan itu adalah memberikan solusi dan partisipasi.

Sekali lagi, kita tidak perlu menanyakan kenapa nabi Ibrahim dan nabi Zakaria tidak memiliki anak di usia muda nya. Kita tidak perlu berargumen kenapa mereka tidak mengamalkan doa padahal mereka nabi dan rasul di zamannya. Tapi yang pasti, Tuhan lebih tahu di bagian mana doa dan harapan mereka menemukan manzilahnya.


Tidak ada komentar: