Jumat, 09 Juli 2021

Pisang dan "Pisangan" 

Entah kenapa kalau melihat,  mendengar, atau membayangkan pisang yang ada di kepala saya selalu berhubungan dengan tempat saya tinggal. Laah,  koq bisa?? 

Iya, saya tinggal di daerah Bekasi dengan kampung bernama Kampung Pisangan. Daerahnya memang tidak besar dan tidak indah karena sudah banyak sekali tanah yang beralih menjadi perumahan namun cukup nyaman untuk ditinggali. Terbukti banyak pendatang dari berbagai luar daerah menautkan hati dan raganya di kampung tercinta.

Kembali ke pisang, banyak yang tanya kenapa daerah saya dinamai kampung pisangan. Sejujurnya, saya juga tidak tahu kenapa dinamai kampung Pisangan. Padahal saya sudah 40 tahun lebih tinggal di daerah ini (mungkin sudah ratusan tahun dengan nama seperti itu karena kakek buyut saya juga tinggal di daerah ini dengan nama yang sama). 

Satu yang pasti, ketika saya kecil memang banyak sekali pohon pisang di tempat tinggal saya. Bahkan dari sekian banyak pohon yang ada, pohon pisang lah yg mendominasi. Mulai dari buahnya yg menjadi konsumsi penduduknya walau tidak hampir setiap hari, sampai  daunnya yang kering digunakan untuk membungkus nasi goreng cap kepal-kepal tangan menemani perjalanan ke sekolah. Belum batang pohonnya yang juga selalu menemani kemana pun kami berenang di kali dan aliran sawah saban hari (kalenan, kami menyebutnya). Hmmm,  sungguh menyenangkan. 

Nyatanya dulu, buah pisang yang saya kenal ini memang bermacam-macam namanya, mulai dari pisang Raja Sereh,  pisang Ambon,  pisang Kepok,  pisang Lampung,  pisang Uli,  dan banyak jenis lainnya yang secara riil saya tahu karena bapak dulu sering memborong buah pisang untuk di bawa ke pasar. Namun tunggu dulu,  sebelum dibawa ke pasar,  pisang-pisang tersebut terlebih dulu diimbuh (bahasa Bekasinya, "disekep") selama beberapa hari dengan karbit (bentuknya kayak batu kerikil sebesar kepalan tangan anak kecil) agar cepat masak/menguning. Satu hal yang sampai sekarang diingat adalah ketika membuka pisang yang sudah matang,  ada sesuatu yang sangat dinanti untuk dicari. Ya, sisa karbit yang digunakan untuk mengimbuh pisang. Senang sekali rasanya mendapatkan sisa karbit tersebut. Biasanya saya berlari dan mencari sumber air untuk merendam karbit tersebut. Dan hasilnya, bluk,  bluk,  bluk, air tersebut mendidih dan berbusa. Ada aroma tertentu yang keluar dari asap karbitan, bau bau gitu. Sederhana memang,  tapi bagi saya itu sangat menyenangkan. 

Sayangnya,  saat ini jarang sekali saya menemukan pohon pisang di sekitar saya,  apalagi pohon yang berbuah sampai matang di tandannya. Tiada lagi anak-anak atau keponakan yang mengenal si daun klaras pembungkus nasi goreng emak, pembungkus terasi,  atau pembungkus cabai bawang. Semuanya hanya kenangan,  kenangan yang hanya diingat lewat nama, yaitu kampung Pisangan. 

Terimakasih buat Omjay (Guru Blogger Indonesia) atas hadiah buku nya.
http://wijayalabs.com

Tidak ada komentar: