Minggu, 11 Juli 2021

 

Cinta Allah Melalui Daun Bayam Duri dan Gula Merah


 








 

Salam literasi dan semoga sejahtera selalu

Ijinkan saya berbagi cerita mengenai serba serbi tanaman dan bumbu dapur di sekitar kita yang mudah-mudahan sangat bermanfaat bagi kita semua. Untuk sebagian orang, mungkin bayam duri menjadi salah satu jenis tanaman yang sering diabaikan keberadaannya di sekitar rumah. Oleh karena itu, seringkali tanaman ini dipacul atau dicabut karena durinya yang lumayan sakit jika tertusuk anggota badan. Tanaman ini tidak se-laku dan se-populer tanaman daun bayam sayur pada umumnya yang dijual petani sayur dan pedagang karena sampai saat ini pun saya tidak pernah melihat dan belum menemui abang-abang atau mpok-mpok penjual sayur menjajakannya di deretan gerobak keliling.

Mengenai  bahasan daun bayam duri dan gula merah, pada suatu hari saudara sepupu saya sedang membeli es batu. Kebetulan dia membelinya di warung kakak saya. Karena kakak saya sedang sibuk, dia mengambil sendiri es batu yang sudah keras ukuran plastik satu kg. Entah karena tidak terbiasa mengambil es batu yang tertanam keras di kulkas bersalju atau tidak hati-hati tetiba satu-dua batu es jatuh meluncur dan menimpah jempol kaki kanannya. Sakit dong, tentunya.  

Alhasil bisa dirasakan betapa sakitnya, dan dapat dibayangkan dalam hitungan jam jempol kakinya membengkak serta beberapa saat sedikit menggumpal darah di bagian sisi kuku. Biasanya, bengkak yang diakibatkan tertimpa benda berat semacam palu, batu, atau meja kayu di bagian kaki khususnya jempol  akan menyisakan bengkak dan rasa sakit yang teramat sangat, ngebet dan nyut-nyutan. Ada yang menyarankan untuk mengobatinya dengan obat merah Cina atau pergi ke dokter, tapi ada juga yang memberikan alternatif pengobatan ala kampung, dan "dijamin" tidak ngebet dan perih. Masa sih, dan akhirnya dicoba saran terakhir.

Mulailah seseorang disuruh mencari daun bayam duri delapan atau sepuluh lembar, dan jika memungkin seadanya saja karena musim kemarau biasanya bayam duri jarang tumbuh di daerah saya (ingat… yang diambil daunnya, bukan duri atau kembang halusnya). Setelah dapat beberapa lembar daun bayam duri, lalu dicuci sampai bersih. Kemudian daun tersebut ditumbuk dengan dicampur gula merah sebesar kepala jempol jari. Ingat, kombinasi daun bayam duri dan gula merah jangan ditumbuk di wadah pengulekan yang biasa digunakan untuk menggoyang cabai, bawang, dan cs-nya, tapi ditumbuk di wadah yang bersih dan steril semacam piring plastik atau mangkuk plastik. Atau jika mau, dimasukan saja daun bayam tersebut bersama gula merahnya ke dalam plastik minyak curah prapatan. Lalu ditumbuk  dengan menggunakan palu sampai halus. Setelah halus, kemudian borehkan ke bagian area jempol kaki yang tertimpa dan dibalut dengan potongan kain kasa atau potongan kain apapun yang tersedia dan disimpul/diikat (ingat, kain nya harus bersih) agar borehan daun bayam duri tersebut tidak ampar-amparan (bahasa kampungnya) dan menyerap ke dalam pori-pori luka.

Dan alhamdulilah, khawatir bayangan rasa sakit semalaman sirna tanpa nyut-nyutan dan pembengkakan. Dan besok paginya pun seperti tidak terjadi apa-apa dengan jempol kaki sepupu saya tersebut. Murah meriah, mudah didapat, dan tanpa rasa sakit menyiksa. Pengobatan instant tersebut ternyata tidak hanya dilakukan oleh sepupu saya, tetapi juga  tetangga sekitar dan orang tua yang pernah melakukannya. Insiden luka yang dialami berbeda-beda, ada yang bagian jari kaki tertimpah meja, tertimpa palu, terjepit sela pintu di jari tangan, atau bahkan terpukul palu saat menancapkan paku ke wadah tertentu. Dan alhamdulillah, dengan ijin Allah sembuh dan tiada rasa sakit njarem/ngebet yang menyiksa.

Ternyata apa yang Allah ciptakan sebesar dan sekecil apapun di dunia ini, pasti ada manfaatnya. Maha suci Allah dengan segala kekuasaan Nya.

 

Demikian sekedar berbagi pengalaman, wassalam.
Bekasi, 11 Juli 2021

 

Muhidin

Antara Apel dan Mangga Apel

Hari itu menjelang sore sekitar pukul 17.00 WIB  tepatnya hari Minggu namun lupa bulannya, istri mengajak saya untuk membeli buah dan sayuran di daerah perumahan dekat tempat tinggal saya. Jaraknya tidak jauh,  hanya membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit jalan kaki. 

Kami pun berjalan kaki sambil menikmati aroma sore hari menjelang senja mentari. Tanpa terasa, sampailah kami di sana,  di sebuah warung yg berisi bukan hanya bahan-bahan dagangan sayur dan bumbu dapur,  tapi juga terdapat beberapa macam buah seperti pepaya, semangka, kelengkeng, pir, anggur, dan tentunya apel (waktu itu hanya ada apel hijau). 

Kami terbiasa dan suka membeli buah di sini karena penjualnya boleh dibilang beda dengan yang lainnya. Para pembeli biasa memanggil si penjual dengan sebutan si Mpok. Beda dengan penjual lainnya karena ketika kami atau pembeli lain memilih buah katakanlah semangka, si Mpok selalu menyarankan, "Jangan ambil yang itu Bang, itu belum matang, nggak merah, banyak bijinya, atau itu gak manis". Lalu dia arahkan kepada buah yang memang manis sesuai kemauan pembeli. Sepengalaman saya kalau membeli sesuatu, si penjual biasanya mempromosikan buahnya dengan serangkaian kata sifat yg menunjukan pesona sang buah, yang penting buahnya laku. Tapi si Mpok selalu berkata, "Jangan yang ini,,, Jangan yang itu,,,. Besok baru belanja lagi". Padahal masih ada 2-3 semangka yang tersisa di rak buah. Mungkin dia tidak mau mengecewakan pelanggannya. 

Hari itu saya niat membeli buah apel hijau yang tergeletak di sebelah luar rak dagang, jauh dari sudut lihat si Mpok. Bentuknya  sebesar gambar di atas, namun diselingi warna agak ranum merah-merah hati (kombinasi hijau dan merah). Sekilas terbesit di hati rasanya manis sekali sehingga menggugah keinginan untuk membeli 8 buah. Istri pun bertanya ke si Mpok harga apel nya. Harganya lumayan terjangkau dan kesepakatan pun terjadi. Istri tidak hanya belanja buah apel,  tetapi juga dia belanja kebutuhan dapur lain nya untuk 2 hari ke depan. 

Setelah membayar belanjaan apel,  bumbu dapur serta sayur mayur,  kami pun keluar untuk pulang. Di perjalanan,  saya pun meminta istri untuk membuka kantong plastik buah apel,  diambil nya satu apel dan diberikan ke saya. Tangan mulai menggosok-gosokkan buah apel ke kaos dengan maksud membersihkan nya dari kuman-kuman tangan "jahil" pembeli lain yang menyentuhnya. Buah apel yang ada di tangan pun perlahan meluncur ke atas dan berhenti di mulut. Krek, bunyi renyah gigitan di mulut saya memecah buah apel tersebut. Tetiba sekejab mata memicing,  mulut meringis,  dan air liur keluar ketika rasa yang sangat masam menjalar ke lidah. Saya lepehin gigitan apel yang ada di mulut. 

Saya langsung bertanya ke istri, "Lah ini mah bukan buah apel, ini mah mangga. Tepatnya mangga apel". 

"Buah Apel kok, si Mpok nya bilang gitu". Respon istri. 

"Et dah, kata buah mangga ini mah. Rasanya juga beda. Masa asem bangat. Mana banyak lagi belinya ampe 8. Gak ada yang mao makan ini mah. Cobain sedikit dah".

Lalu istri pun menggigit buah yang menurut saya bukan apel. Berharap respon yang sama,  dia malah berkata, "ini mah bener buah apel. Gak asem kok".

Laah ini orang "eror" apa saya yang 'eror" dalam hal rasa dan pendapat. Sepanjang perjalanan ke rumah kami cekcok hanya untuk sebuah rasa,  mangga atau apel. Terasa lucu memang. 

Sesampai nya di depan rumah,  ada bapak yang duduk di bangku sedang kongko bersama kakak perempuan saya dan ibu saya. Sambil menyodorkan plastik berisi buah "apel", saya pun berkata, "Cobain deh, manis nggak apel nya?" Dalam hati berkata, siapa tahu varian rasa yang lainnya beda. 

"Kayaknya manis banget apel nya. Beli di mana?" Kakak saya bertanya sambil menyomot satu buah apel dan digigit nya. Dengan penasaran saya pun menunggu reaksi dari wajah kakak saya yang satu ini.  Yups,  reaksi mata,  mulut, air liur,  dan ekspresi kata-kata yang meluncur sama seperti saya.  Yups,  sama persis. 

"Ini mah mangga, asem banget. Apel pala luh" Dia mengomel sambil memasukan kembali buah "apel" yang sudah tergigit layaknya logo Apple perusahaan teknologi yang terkenal itu ke dalam plastik semula. 

"Emang kayak apel sih bentuk nya". Kata kakak saya seraya berpaling pulang ke rumah nya mengakhiri percakapan dengan kedua ibu bapak. Sepertinya bapak dan ibu tidak mau buah "apel" setelah tahu rasanya.  

"Iya, aku menang. Kata mangga gek. Masih ora percaya. Apel bae katanya". Nyerocos ku kepada istri ku. Sambil tersenyum dia pun melihat buah tersebut dalam plastik dan berkata,  "Ya udah dibuatin asinan mangga aja. Nanti aku kupas dan irisin kecil-kecil". 

"Yaudah, terserah. Gak jadi makan buah deh". Kata ku,  sambil masuk ke dalam rumah. 

Kesalahan bukan pada orang lain dalam hal ini si penjual,  tapi saya sendiri karena waktu membeli buah "apel" tersebut tanpa memilih saya langsung masukan ke dalam plastik hitam untuk dikiloin si Mpok. Alhasil,  si Mpok nya tidak tahu kalau saya mengambil buah yang salah, yaitu buah mangga apel. Maklum mungkin karena hari sudah agak gelap menjelang magrib. Sejak itu, tidak pernah lagi memakan buah mangga ini secara langsung jika dirasa masih hijau atau kombinasi hijau merah memanjakan mata. 

Selamat beraktifitas dan menghayal rasa. Inilah ilustrasi gambaran buah yang saya kira apel, sama persis namun dengan kulit yang lebih mengkilap dan klimis.

Wassalam 

Bekasi,  Minggu 11 Juli 2021

Muhidin

Jumat, 09 Juli 2021

Pisang dan "Pisangan" 

Entah kenapa kalau melihat,  mendengar, atau membayangkan pisang yang ada di kepala saya selalu berhubungan dengan tempat saya tinggal. Laah,  koq bisa?? 

Iya, saya tinggal di daerah Bekasi dengan kampung bernama Kampung Pisangan. Daerahnya memang tidak besar dan tidak indah karena sudah banyak sekali tanah yang beralih menjadi perumahan namun cukup nyaman untuk ditinggali. Terbukti banyak pendatang dari berbagai luar daerah menautkan hati dan raganya di kampung tercinta.

Kembali ke pisang, banyak yang tanya kenapa daerah saya dinamai kampung pisangan. Sejujurnya, saya juga tidak tahu kenapa dinamai kampung Pisangan. Padahal saya sudah 40 tahun lebih tinggal di daerah ini (mungkin sudah ratusan tahun dengan nama seperti itu karena kakek buyut saya juga tinggal di daerah ini dengan nama yang sama). 

Satu yang pasti, ketika saya kecil memang banyak sekali pohon pisang di tempat tinggal saya. Bahkan dari sekian banyak pohon yang ada, pohon pisang lah yg mendominasi. Mulai dari buahnya yg menjadi konsumsi penduduknya walau tidak hampir setiap hari, sampai  daunnya yang kering digunakan untuk membungkus nasi goreng cap kepal-kepal tangan menemani perjalanan ke sekolah. Belum batang pohonnya yang juga selalu menemani kemana pun kami berenang di kali dan aliran sawah saban hari (kalenan, kami menyebutnya). Hmmm,  sungguh menyenangkan. 

Nyatanya dulu, buah pisang yang saya kenal ini memang bermacam-macam namanya, mulai dari pisang Raja Sereh,  pisang Ambon,  pisang Kepok,  pisang Lampung,  pisang Uli,  dan banyak jenis lainnya yang secara riil saya tahu karena bapak dulu sering memborong buah pisang untuk di bawa ke pasar. Namun tunggu dulu,  sebelum dibawa ke pasar,  pisang-pisang tersebut terlebih dulu diimbuh (bahasa Bekasinya, "disekep") selama beberapa hari dengan karbit (bentuknya kayak batu kerikil sebesar kepalan tangan anak kecil) agar cepat masak/menguning. Satu hal yang sampai sekarang diingat adalah ketika membuka pisang yang sudah matang,  ada sesuatu yang sangat dinanti untuk dicari. Ya, sisa karbit yang digunakan untuk mengimbuh pisang. Senang sekali rasanya mendapatkan sisa karbit tersebut. Biasanya saya berlari dan mencari sumber air untuk merendam karbit tersebut. Dan hasilnya, bluk,  bluk,  bluk, air tersebut mendidih dan berbusa. Ada aroma tertentu yang keluar dari asap karbitan, bau bau gitu. Sederhana memang,  tapi bagi saya itu sangat menyenangkan. 

Sayangnya,  saat ini jarang sekali saya menemukan pohon pisang di sekitar saya,  apalagi pohon yang berbuah sampai matang di tandannya. Tiada lagi anak-anak atau keponakan yang mengenal si daun klaras pembungkus nasi goreng emak, pembungkus terasi,  atau pembungkus cabai bawang. Semuanya hanya kenangan,  kenangan yang hanya diingat lewat nama, yaitu kampung Pisangan. 

Terimakasih buat Omjay (Guru Blogger Indonesia) atas hadiah buku nya.
http://wijayalabs.com

Sahabat La-Lit sudah tak asing lagi dengan buah pada gambar di samping ini. yaa, buah yang satu ini sudah menjadi salah satu buah yang merakyat dan mudah dijangkau hampir semua kalangan di berbagai daerah. Buah yang awalnya berasal dari negeri nan jauh di seberang benua sana.  Negeri dimana peradaban kuno suku Maya, Aztek, dan Inca berasal (mungkin mereka kali ya yang awal mula membudidayakannya, secara budaya dan pengetahuan mereka melampaui batas zamannya🀭🀭). Bukan hanya pepaya,  bahkan jagung dan coklat pun menjadi daftar list buah yang berasal dari negeri Amerika Latin ini. 

Kembali ke buah pepaya,  rasanya tidak lengkap jika tidak mencantumkan buah ini dalam daftar buah yang wajib dikonsumsi. Bukan hanya karena rasanya yang segar dan manis,  tapi juga kandungan vitamin C yang ada di dalam (jadi ingat pelajaran SD yang menghafal jenis-jenis buah beserta kandungan vitamin di dalamnya) 🀭.

Bagi pencari selera buah manis,  pepaya masak di pohon bisa menjadi pemuas rasa sesungguhnya. Maklum,  buah pepaya yang banyak dijajakan sekarang kemungkinan berasal dari buah yang dipaksakan untuk matang sebelum waktunya, sehingga rasanya tidak manis dan terasa hambar. 

Bagi orang yang memiliki lahan dan  terdapat pohon pepaya di dalamnya. Sungguh nikmat yang patut disyukuri karena banyak sekali manfaat dari buah yang satu ini. Selain buah beserta kandungan vitaminnya, daun pepaya pun menjadi primadona bagi penyuka lalapan, bahkan bisa dikelola menjadi lauk alternatif yang mudah dibuat dan dijangkau.

Satu kekurangan dari buah ini menurut keponakan saya, entah kenapa setelah dikupas dia tidak menyukai bau tangannya. Alhasil dia tidak pernah mau memakannya πŸ˜”. Tapi beda hal nya dengan saya, buah ini termasuk favorit yang ada dalam kamus nama-nama buah yang saya suka.

Anda suka pepaya,  begitu pun saya. Hayoooo,  bagi yang punya pohon bibit unggulnya, silahkan berbagi ke saya 🀭🀭🀭.  

Just kidding✌️. 


Bekasi,  5 Juli 2021

Muhidin

#belajarmenulisgel19

  Jangan tanya, Kenapa?

(Gambar hasil screenshot dari https://youtu.be/A1xb3NYkasI)

Bagi sebagian peselancar media sosial mungkin tidak asing dan merasa tergelitik atau bahkan terwakilkan dengan isi pesan yang disampaikan dalam video  iklan budaya basa basi saat kumpul keluarga asal negeri Thailand pada link gambar di atas. Dalam video tersebut, berbagai pertanyaan dilontarkan oleh sebagian besar kerabat terhadap seorang wanita single nan cantik. Beberapa pertanyaan tersebut bagi si wanita terasa “menyakitkan” sampai terbesit dan terlontar balasan berupa pertanyaan serta pernyataan jujur menyakitkan dari si wanita kepada beberapa keluarga. Dalam berbagai sudut pandang, menurut saya basa-basi tersebut secara tidak langsung cenderung sangat “ofensif” dan menyakitkan.

Bagaimana tidak, daftar pertanyaan yang kadang kita tidak siap (tidak bisa) menjawab seringkali berulang-ulang terlontar dari lidah yang tak bertulang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terlontar dari orang-orang sekitar kita seperti teman, kerabat, tetangga, atau orang yang baru saja kita kenal. Kapan kerja?, Kapan nikah?, Kapan punya anak?, Kenapa belum punya mobil/rumah? Kenapa ngontrak?, Kenapa bercerai, Kenapa……., dan banyak lagi pertanyaan yang terasa bosan dan sulit untuk dijadikan soal ujian berbasis kompetensi.

Boleh jadi, pertanyaan basa basi ala negeri timur jauh tersebut jika disematkan kepada orang barat dan eropa dengan budaya yang berbeda akan terasa sangat kasar dan tidak pantas dimasukan dalam list tunggu sebuah kuis.

Berikut narasi dialog yang sering dijumpai dalam budaya yang kadang tak “beretika dan berperasaan”. Mungkin maksudnya baik atau kalau boleh dibilang “care”, tapi kadang memuakkan.

A   : Kerja dimana?

B : Ohh, saya mengajar di ***

A   : Bini Orang mana?

B : Istri orang ***

Oke, itu pertanyaan yang terbilang wajar dan masih dalam koridor kesantunan umum. Namun jika hal lain sudah menjurus seperti pertanyaan-pertanyaan di bawah, layaknya perlu dipahami budaya saling menjaga perasaan dan nurani oleh sebagian besar orang dalam kesehariannya.

A   : Punya anak berapa?

B : Oh, belum.

A   : Lah emang udah berapa tahun menikah belum punya anak?

B : Sekitar 4-5 tahun.

A   : Laah lama banget.

B : Iya memang.

A   : Anak saya nikah satu tahun

sudah punya anak.

B : Mungkin belum waktunya dan

belum rejeki.

A   : Lah kalau orang nikah mah

harus punya anak. Nanti siapa

yang ngurusin kalau udah tua.

B : ***

A : Adek nya kapan nikah?

B : Nggak tahu, Mungkin belum

punya jodoh

A : Lah, cepetan cariin jodoh,

nanti jadi perawan tua.

B : ***

Pertanyaan-pertanyaan simple, tapi menyakitkan. Buat bapak/ibu dan sahabat LaLit, pertimbangkan dan pikirkanlah sebelum melontarkan jenis-jenis pertanyaan layaknya di atas. Kita tidak tahu dibalik kehidupan real orang yang ditanya. Entah dia (suami/istri/adik/kakak) sudah berusaha, memiliki “masalah” dengan kesehatan, atau bahkan Tuhan belum menganugerahkan yang lebih baik atau terbaik. Jangan lagi memberi pernyataan atau memberikan “nasihat” (banyak-banyaklah berdo’a, beramal, atau mengkonsumsi ini dan itu) karena kita tidak akan pernah  tahu APA YANG ADA DALAM DO’A TERBAIK NYA KETIKA DIA MEMINTA KEPADA TUHANNYA. Ingatlah, do’a baik pun memiliki konsekuensi di dalam nya. Berusahalah untuk bijak, setidaknya berikanlah doa pada nya, “SEMOGA ALLAH MEMBERIKAN YANG TERBAIK UNTUK DUNIA DAN AKHIRAT MU”.  Setidaknya itu bisa menjadi obat hati dan perasaan daripada pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya masih tendensius destruktif dan ofensif. 

Banyak orang tua berharap dan meminta anak dalam do’a nya, tapi faktanya tidak disertai dengan mendidik dan menafkahi. Banyak pula orang tua yang berharap dan meminta anak yang sholeh/sholehah, tapi hanya sebatas lisan karena tidak ada usaha mendidik secara didikan Rasulullah atau Luqman Al-Hakim. Nyatanya, tidak sedikit pula yang hanya sebatas menyekolahkan tanpa ada kerjasama simbiosis mutualisme antara ibu/ayah guna menghasilkan harapan nyata.

Begitu juga jenis pertanyaan lainnya, Kapan kerja?, Kapan nikah?, Kenapa ngontrak?, dan Kenapa bercerai?. Mulailah Stop untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut karena sejatinya kita tidak mengalami dan memahami konteks jati diri, keadaan, dan lingkungannya. Mungkin yang lebih membantu ketimbang pertanyaan-pertanyaan itu adalah memberikan solusi dan partisipasi.

Sekali lagi, kita tidak perlu menanyakan kenapa nabi Ibrahim dan nabi Zakaria tidak memiliki anak di usia muda nya. Kita tidak perlu berargumen kenapa mereka tidak mengamalkan doa padahal mereka nabi dan rasul di zamannya. Tapi yang pasti, Tuhan lebih tahu di bagian mana doa dan harapan mereka menemukan manzilahnya.


 Assalamu 'Alaikum sahabat LaLit (Kalam Literasi)

Semoga kalian sehat selalu dan salam literasi.

Oia, apakah kalian mempunyai Blog, atau mungkin kalian pernah memiliki nya????

Pernahkah kalian mengalami kendala bahasa pada tampilan awal muka nya (istilah blogger nya Dashboard) yang berbahasa Inggris atau bahasa lainnya yang tidak dikehendaki???

Jika kalian punya masalah tersebut, saya juga mengalaminya pertama kali membuat blog. Pertama kali saya memiliki Blog, ada satu hal yang menggelitik saya mengenai bahasa yang muncul dalam Dashboard blog perdana saya, yaitu bahasa Inggris. Padahal saya sendiri adalah guru bahasa Inggris. Kenapa menggelitik, ya karena saya bingung untuk mengikuti tutorial yang berseliweran di YouTube dengan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam dashboard nya (sedangkan bahasa setting yang muncul di dasboard saya ya bahasa Inggris. Maklum,,, kadang bahasa Inggris dalam suatu pemograman/settingan perlu pemahaman yang lebih sebagai bahasa yang memang memiliki tujuan English for specific purpose πŸ€­πŸ€­πŸ˜Š). 

Praktik nya, dashboard blogger saya berbahasa Inggris, dan pada menu setting saya coba mencari peralihan bahasanya. Saya klik Settings kemudian Basic dan Blog language, sudah saya ganti menjadi bahasa Indonesia tapi menu di dashboard blog saya tetap berbahasa Inggris. Hal tersebut berkali-kali sudah saya coba beserta step-stepnya lalu fresh ulang, dan hasilnya tetap sama, tidak berubah. Kan kezeeeel guyssss πŸ˜”πŸ˜”πŸ€¦‍♂️🀦‍♂️

seperti gambar dibawah ini πŸ‘‡πŸ‘‡πŸ‘‡


Lalu bagaimana agar dashboard blog saya bisa berbahasa Indonesia????
Saya searching di google dan Alhamdulillah menemukan tutorial yang sangat bagus melalui link πŸ‘‡πŸ‘‡
https://www.santridanalam.com/2020/07/cara-mengubah-bahasa-dashboard-blogger.html

Mengubah Bahasa Blog Pribadi Melalui Akun Google Pribadi 

Hal pertama yang saya lakukan adalah pada wall halaman dashboard blogger, saya klik foto profil akun google saya  (sesuai ilustrasi gambar di bawah ditandai dengan kotak merah sebelah pojok kanan atas). Klik pada foto profil dan muncul : manage your google accountklik pada bagian tersebut dan akan terbuka halaman akun google.
Lebih jelasnya lihat πŸ‘‡πŸ‘‡πŸ‘‡ (gambar didapat dari link https://www.santridanalam.com/2020/07/cara-mengubah-bahasa-dashboard-blogger.html)






Pada tahap Data & Personalization, saya lanjutkan dengan scroll ke bawah sampai menemukan opsi Languange. Lalu Klik Language (Bahasa), maka akan muncul gambar seperti di bawah ini. Klik tanda pensil pada pilihan bahasa atau klik pada + Tambahkan Bahasa Lain (+Add another language).

Maka akan muncul kota seperti πŸ‘‡πŸ‘‡πŸ‘‡


Setelah muncul kotak pencarian bahasa atau Add language, lalu scroll ke bawah bahasa yang ingin digunakan dengan meng-klik (dalam hal ini Indonesia) sehingga muncul tulisan Select warna biru di pojok bawah kanan. Lalu klik Select 
(Otomatis Dashboard akan mengubah tampilan kedalam bahasa Indonesia)Dan alhamdulillah,,, it works.

Selamat mencoba, guys!